Ali Akbar Navis, Jejak Lelaki Satiris
Ali Akbar Navis (atau yang kerap dikenal dengan A. A. Navis) merupakan sastrawan angkatan 50-an, beberapa ahli ada pula yang memasukkannya ke dalam angkatan 66. Penulis ini dijuluki "Pencemooh Nomor Wahid" dan "Satiris Ulung". Tentunya pemberian julukan ini tidak dapat dipisahkan dari gaya kepenulisannya yang kerap mengandung sindiran dan kritik. Salah satu karyanya yang fenomenal adalah cerpen yang berjudul Robohnya Surau Kami yang juga memiliki peran dalam melambungkan namanya. Selain sebagai sastrawan, Navis juga dikenal sebagai budayawan, perupa, dan politisi.
Kehidupan A. A. Navis
A. A. Navis dan Aksari Yassin Sumber: www.gramedia.com |
1924
Ali Akbar Navis lahir di Kampung Jawa, Kota Padang Panjang, Provinsi Sumatera Barat pada tanggal 17 November 1924. Navis adalah anak sulung dari dua belas bersaudara. Bapaknya bernama Nafis Sutan Marajo dan ibunya bernama Sawiyah.
Sejak kecil, A. A. Navis telah menunjukkan ketertarikannya dalam dunia seni. Saat remaja, Beliau menjadi anggota Barisan Seni Bangsa yang rutin menggelar pementasan sandiwara dan musik serta pameran lukisan. Navis juga seorang flautis dari Sumatera Symphoni Orchestra. Selain itu, Beliau juga menjadi pendiri Kelompok Seniman Muda Indonesia.
1932
Navis mengenyam pendidikan di Indonesische Nederlansche School (INS) yang terletak di Kayutanam sejak tahun 1932 sampai 1943 (beberapa referensi menyebutkan hingga tahun 1946).
1944
A. A. Navis pernah menjadi pegawai pada sebuah pabrik porselen di Padang Panjang sejak tahun 1944 hingga 1947. Jika Navis lulus INS tahun 1946, maka pekerjaan sebagai pegawai pabrik porselen Beliau jalani sambil bersekolah.
1950
A. A. Navis pernah menjadi penasihat ahli Radio Republik Indonesia Studio Bukittinggi sejak tahun 1950 hingga 1958.
1955
Di samping menjadi penasihat ahli RRI Bukittinggi, Navis menjabat sebagai Kepala Bagian Kesenian pada Jawatan Kebudayaan Sumatera Barat di Bukittinggi pada tahun 1955 hingga 1957. Di tahun ini pula, cerpen berjudul Robohnya Surau Kami diterbitkan oleh majalah Kisah.
A. A. Navis juga menjalani kehidupan sebagai akademisi. Tahun 1955 hingga 1958, Beliau tercatat pernah mengajar sebagai guru menggambar di Sekolah Kepanduan Putri Bukittinggi. Selain itu, Navis juga pernah menjadi dosen luar biasa di Akademi Seni Karawitan Indonesia (kini Institut Seni Indonesia) Padang Panjang dan Fakultas Sastra (kini Fakultas Ilmu Budaya) Universitas Andalas.
1957
A. A. Navis menikah dengan Aksari Yasin pada tahun 1957. Dari pernikahan tersebut, Navis dikaruniai tujuh orang anak, yaitu Dini Akbari, Lusi Bebasari, Dedi Andika, Lenggogini, Gemala Ranti, Rinto Amanda, dan Rika Anggraini.
1969
Tahun 1969, Navis diangkat menjadi Ketua Yayasan Ruang Pendidik INS Kayutanam. A. A.
1971
Navis juga sempat menjadi Pemimpin Redaksi Harian Umum Semangat pada tahun 1971 sampai 1972. Setelah itu beliau menjabat sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Barat hingga tahun 1982.
1982
Karir terakhir yang dijalani A. A. Navis adalah Manajer Umum di Percetakan Singgalang pada tahun 1982 sampai 1984.
1990
Setelah pensiun sebagai anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara serta mengundurkan diri dari pekerjaannya sebagai dosen luar biasa Universitas Andalas, A. A. Navis menjadi lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menulis. Di tahun 1990-an, karya-karya Navis banyak yang diterbitkan dalam bentuk buku.
2003
Pada tanggal 22 Maret 2003, Ali Akbar Navis tutup usia di Kota Padang. Sebelumnya Beliau pernah dirawat di Rumah Sakit Jantung Harapan Kita Jakarta. Navis kemudian dimakamkan di TPU Tunggul Hitam, Padang.
Dunia Kepenulisan A. A. Navis
Sumber: Tempo.co |
Nama Ali Akbar Navis tak dapat dipisahkan dari cerpennya yang berjudul Robohnya Surau Kami. Karya yang diterbitkan pertama kali di Majalah Kisah tahun 1955 tersebut merupakan karya fenomenal yang mengejutkan para pembaca kala itu. Cerpen ini menjadi kontroversial bukan hanya karena gaya berceritanya yang satir, beberapa kalangan juga menilai bahwa Robohnya Surau Kami telah menjelekkan agama Islam.
Sejak usia kanak-kanak, Navis sudah mulai belajar filsafat dan sejarah Islam. Navis kecil juga sudah mulai membaca cerpen karya Hamka yang secara rutin dimuat dalam Pedoman Masyarakat. Hal tersebut rupanya memantik ketertarikan A. A. Navis terhadap dunia kepenulisan.
Ketika menjadi pegawai di Jawatan Kebudayaan Sumatera Barat, Navis kerap berseberangan pendapat dengan atasannya. Hal tersebut membuat A. A. Navis sering tidak diberi pekerjaan sehingga memiliki banyak waktu luang. Navis mengakui bahwa dia lebih baik mengambil mesin ketik dan mulai menulis, daripada keluar dari kantor dan membuat atasannya semakin marah atau sekadar duduk melamun sambil melihat rekan sekantor lainnya sibuk bekerja. Kejadian inilah yang mengawali perjalanan Ali Akbar Navis sebagai penulis.
Awalnya, minat A. A. Navis lebih condong ke arah kesenian, terutama kepada dunia seni rupa. Kritik seni yang ditulis oleh A. A. Navis sering dimuat di media-media lokal hingga nasional. Baru pada tahun 1953, ketika H. B. Jassin dan kawan-kawannya menerbitkan Majalah Kisah, Ali Akbar Navis mulai mengirimkan tulisan berupa kritik sastra ke majalah tersebut. Di majalah itu pula, cerpen Robohnya Surau Kami pertama kali diterbitkan pada tahun 1955.
Setelah Robohnya Surau Kami terbit pada tahun 1955, tulisan-tulisan A. A. Navis lainnya mulai bermunculan. Seperti cerpen berjudul Man Rabbuka yang dimuat oleh harian Nyata di Bukittinggi dua tahun setelahnya. Beberapa waktu kemudian, cerpen tersebut juga dimuat dalam mingguan Siasat di Jakarta. Meski pemuatannya di kedua media tersebut kemudian dicabut dan dianggap tidak pernah terbit.
Dalam bentuk buku, Robohnya Surau Kami menjadi kumpulan cerpen pertama yang terbit tahun 1956. Pada tahun 1963, A. A. Navis menerbitkan kumpulan cerpen berjudul Bianglala. Kemudian menyusul kumpulan cerpen lainnya di tahun berikutnya dengan judul Hujan Panas. Novel berjudul Kemarau terbit di tahun 1967. Novel berikutnya berjudul Sarawati, si Gadis dalam Sunyi terbit pada tahun 1970. Navis juga pernah menerbitkan kumpulan sajak berjudul Dermaga Empat Sekoci di tahun 1975.
Setelah selesai menjalani tugas sebagai anggota DPRD Sumatera Utara, A. A. Navis kemudian juga mengundurkan diri sebagai dosen luar biasa di Universitas Andalas. Beliau kembali fokus dalam dunia tulis menulis. Pada tahun 1990, kumpulan cerpen Hujan Panas dan Kabut Musim diterbitkan. A. A. Navis kembali menerbitkan buku kumpulan sajak berjudul Dermaga Lima Sekoci di tahun 2000. Kumpulan cerpen berikutnya terbit pada tahun 2001 dengan judul Beratnya Kerbau pada Sekoci. Setahun kemudian menyusul kumpulan cerpen berjudul Negeri Si Dali.
Selain yang telah disebutkan di atas, A. A. Navis juga banyak melahirkan berbagai bentuk tulisan berupa kritik seni, kritik sastra, cerpen, puisi, novel, cerita rakyat, biografi, serta karya nonfiksi lainnya. Navis juga beberapa kali menulis buku secara kolektif bersama rekan-rekan pengarang lainnya. Sedangkan dua cerpen berjudul Baju di Sandaran Kursi dan Segumpal Malam di Pulau Musang hingga saat ini tidak ditemukan arsipnya.
Karya-karya sastra A. A. Navis yang sarat akan kritik dan sindirian menjadikannya dijuluki sebagai Pencemooh Nomor Wahid atau Satiris Ulung. Gaya bahasanya tersebut yang menjadikan tulisan-tulisannya menimbulkan kontroversi. Bahkan Navis juga pernah dikucilkan oleh rekan-rekannya sesama pengarang. Meski di sisi lain, banyak para ahli yang justru menilai bahwa karya-karya Navis merupakan suatu pembaruan.
Perihal Robohnya Surau Kami
Sampul buku kumpulan cerpen Robohnya Surau Kami Sumber: Ensiklopedia Sastra Indonesia |
Robohnya Surau Kami merupakan cerpen Ali Akbar Navis yang paling terkenal. Cerpen ini menuai banyak pujian di kalangan sastrawan dan peneliti kesusastraan sekaligus kritikan dari kalangan ulama. Para ahli berpendapat bahwa Robohnya Surau Kami membawa angin segar dalam kehidupan beragama di Sumatera. Di sisi lain, beberapa ulama menilai bahwa cerpen tersebut merupakan penghinaan bagi agama.
Robohnya Surau Kami bercerita tentang seorang tokoh yang disebut sebagai Kakek. Kakek merupakan sosok yang alim dan taat beribadah. Seluruh waktunya habis untuk sembahyang dan beribadah. Namun Kakek tidak menghiraukan kehidupan duniawinya karena dia yakin bahwa Tuhan akan memenuhi seluruh kebutuhannya di dunia.
Suatu hari, datang tokoh bernama Ajo Sidi kepada Kakek. Dia bercerita Haji Saleh ketika akan dihisab di akhirat. Haji Saleh adalah orang yang taat beribadah. Hidupnya habis untuk ibadah tanpa mementingkan urusan dunia. Meski begitu, ternyata Haji Saleh tidak masuk surga, melainkan ke neraka.
Di neraka, Haji Saleh bertemu dengan orang-orang yang juga diketahui taat beribadah. Mereka kemudian merasa bahwa Allah tidak adil. Maka mereka memprotes keputusan Allah. Menanggapi hal tersebut, Allah mengatakan bahwa orang-orang yang segolongan dengan Haji Saleh adalah orang-orang yang tinggal di Indonesia, suatu negeri yang kaya raya. Namun mereka tidak mau bekerja membangun bangsanya. Mereka hanya beribadah dan berdoa karena pekerjaan tersebut tidak melelahkan. Oleh karenanya anak cucu yang mereka menjadi melarat dan susah hidupnya. Pada akhirnya mereka tetap masuk neraka.
Rupanya cerita Ajo Sidi tersebut menyinggung Kakek. Setelah mendengar kisah tersebut, Kakek merasa bahwa segala yang ia lakukan selama ini sia-sia belaka. Karena terus menerus memikirkan hal tersebut, Kakek kemudian bunuh diri.
Ide cerita Robohnya Surau Kami berangkat dari lelucon yang didengar oleh Navis ketika bekerja di Jawatan Kebudayaan. Lelucon tersebut menceritakan tentang beberapa orang dari berbagai negara ketika berada di akhirat. Semua orang masuk surga kecuali orang dari Indonesia. Alasannya adalah orang Indonesia elah gagal mengelola tanah yang kaya raya. Belakangan diketahui bahwa lelucon tersebut didapat dari Syekh Ahmad Surkati dari Pakistan.
Di lain kesempatan, A. A. Navis melihat surau tempat dulu ia pernah mengaji. Kakek yang menjaga surau itu sudah lama mati karena kelaparan. Sepeninggal beliau, surau tersebut menjadi tak terurus sehingga hampir roboh. Menurut Navis, kematian karena kelaparan di negeri yang kaya sama saja dengan bunuh diri.
A. A. Navis sendiri berkata bahwa cerpen Robohnya Surau Kami ingin membawa pembaruan bagian kehidupan beragama di Minangkabau. Kalangan ulama lebih mementingkan kegiatan ibadah, sedangkan di luar itu adalah kegiatan duniawi yang tak ada gunanya. Hal tersebut yang menurut Navis menjadi penghalang bagi kemajuan umat kala itu. Misi tersebut kemudian diolah bersama cerita yang Beliau dengar di Jawatan Kebudayaan serta kondisi surau tempat dulu Beliau mengaji. Dengan gaya bercerita yang satir dan sinis, cerpen Robohnya Surau Kami lahir dan mengena tepat di sasaran.
Cerpen ini kemudian menuai kritik dari kalangan ulama, terutama para ulama yang lebih mementingkan aspek religus daripada kehidupan sosial. Mereka menilai bahwa cerpen ini telah menghina Islam. Selain itu, mereka justru menuduh Navis adalah seorang komunis atau Murba. Padalah Navis mengaku bahwa dirinya tidak berpartai. Namun di sisi lain, gagasan dalam cerpen Robohnya Surau Kami didukung oleh kalangan muda. Para mahasiswa di Malang mengadakan seminar yang membahas cerpen ini. Sedangkan di Yogyakarta, Robohnya Surau Kami diadaptasi ke dalam pertunjukan monolog oleh Himpunan Mahasiswa Islam Universitas Gajah Mada.
Cerpen Robohnya Surau Kami dinobatkan sebagai cerpen terbaik oleh majalah Kisah pada tahun 1955. Cerpen ini dinilai oleh beberapa kalangan sebagai karya sastra berkualitas. Seperti yang dikemukakan oleh Bahrum Rangkuti bahwa Robohnya Surau Kami merupakan karya sastra bermutu tinggi karena menyuguhkan nuansa baru dalam ajaran agama Islam. A. Teuw menyebutkan bahwa cerpen ini adalah cerpen awal dalam perjalanan kreatif A. A. Navis yang paling memikat. Sedangkan H. B. Jassin memuji cerpen ini sebagai cerpen yang berani karena A. A. Navis menempuh jalan pemikirannya sendiri sehingga menciptakan penyelesaian yang tidak harus sesuai dengan ajaran agama yang ortodoks.
Tuduhan Penghinaan Agama dan Komunis Terhadap A. A. Navis
A.A. Navis ketika menghadiri Konferensi Pengarang Asia-Afrika tahun
1963 Sumber: Oey Hay Djoen (Arusbawah20.wordpress.com) |
Tulisan Navis yang bernada satir dan kritik kerap kali menjadi bumerang. Karyanya kerap dianggap sebagai bentuk pelecehan terhadap agama Islam. Seperti cerpen Robohnya Surau Kami dan Man Rabbuka yang dicap memberikan citra negatif bagi agama Islam. Cerpen Man Rabbuka bahkan dianggap tidak pernah terbit sempat benar-benar hilang dan tidak pernah muncul di buku kumpulan cerpen milik A. A. Navis mana pun.
Novel A. A. Navis yang berjudul Kemarau juga sarat akan kritik terhadap perilaku jenaka manusia dalam menghadapi ujian, dalam hal ini berupa kemarau yang panjang. Begtu pula cerpennya yang berjudul Jodoh yang sarat akan kritik mengenai takhayul, derajat wanita, serta pemborosan dalam penyelenggaraan hajatan.
Ali Akbar Navis juga sempat dituduh komunis. Aksari Yasin, istri Navis, bercerita bahwa kediaman mereka pernah didatangi polisi setelah cerpen Robohnya Surau Kami diterbitkan. Tuduhan ini kemudian semakin kuat ketika Navis menghadiri Konferensi Pengarang Asia-Afrika di Denpasar pada tahun1963. Hal ini disebabkan konferensi tersebut juga dihadiri oleh penulis berhaluan kiri seperti Pramoedya Ananta Toer dan Agam Wispi. Bahkan Navis sampai dikucilkan oleh rekan sesama pengarang di Sumatera Barat setelah menghadiri perhelatan ini. Namun kemudian A. A. Navis membantah tuduhan tersebut dengan menulis Kemarau di Maninjau. Cerpen ini menegaskan mengenai pandangan keislamannya dan humanisme yang tetap berada dalam kendali iman.
Tulisan-tulisan Navis selalu bersinggungan dengan humanisme dan kehidupan sosial-agama. Baginya, menulis kreatif sesungguhnya merupakan bentuk ekspresi dari intelektualitasnya. Selain itu, karya sastra Navis juga tak lepas dari cita rasa lokal Minangkabau. Berangkat dari nuansa lokal tersebut, A. A. Navis kemudian mengembangkan permasalahan yang lebih umum yang memiliki relevansi terhadap lingkungan hidup masyarakat luas. Kemampuan A. A. Navis dalam mengkorelasikan problematika masyarakat umum ke dalam karya sastra yang bernafaskan Minangkabau menjadi ciri khas yang menarik bagi pembaca dan pemerhati sastra.
Penghargaan yang Diperoleh A. A. Navis
Sampul buku Hujan Panas dan Kabut Musim |
Meski bernada satir. Tulisan-tulisan A. A. Navis sesungguhnya berangkat dari realita kehidupan yang beliau saksikan. Dalam upaya memperbaiki keadaan, banyak hal yang dapat dilakukan. Namun jika ceramah sudah tak mampu membuahkan hasil. Maka upaya tersebut juga harus dilakukan lewat sindiran. Dengan kata lain, penghargaan sesungguhnya bagi karya-karya satiris adalah ketersinggungan yang dirasakan oleh pihak sasaran. Maka sesungguhnya kontroversi bukanlah kemunduran, melainkan keberhasilan.
Selain Robohnya Surau Kami, karya-karya A. A. Navis lainnya juga berhasil memperoleh penghargaan. Seperti cerpen yang berjudul Jodoh yang mendapatkan penghargaan dari Radio Nederland pada tahun 1970 dalam ajang sayembara cerpen Kincir Emas. Pada tahun 1971, cerpen yang berjudul Kawin mendapatkan penghargaan dari majalah Femina. Kemudian cerpen dengan judul Saraswati, si Gadis Sunyi yang mendapatkan penghargaan sebagai cerpen remaja terbaik oleh Unesco/IKAPI pada tahun 1988. Sedangkan buku kumpulan cerpen Hujan Panas dan Kabut Musim memperoleh Hadiah Sastra ASEAN atau SEA Write Award dari Kerajaan Thailand di tahun 1992.
Penghargaan lainnya yang diperoleh A. A. Navis yaitu Hadiah Seni dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia pada tahun 1988. Setahun kemudian, Navis menerima Lencana Kebudayaan dari Universitas Andalas Padang. Kemudian Beliau menerima Lencana Jasawan di bidang seni dan budaya dari Gubernur Sumatera Barat pada tahun 1990. Pada tahun 1992, Navis mendapat Hadiah Sastra dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Penghargaan selanjutnya didapat dari Unesco/IKAPI berupa Anugerah Buku Utama pada tahun 1999. Penghargaan lainnya adalah Anugerah Satya Lencana Kebudayaan dari Pemerintah RI pada tahun 2000. (inSastra/Amry Rasyadany)
No comments
Salam pegiat sastra .....
Bagaimana tanggapan Anda mengenai tulisan di atas?
Berkomentarlah dengan bahasa yang santun dan berikan manfaat untuk sesama.
Kami juga menerima kritik dan saran yang membangun, serta pertanyaan seputar kesusastraan. Mari bersama membentangkan wawasan kesusastraan.