Iklan 728x90 inSastra.com

Lomba Sastra

Abdoel Moeis, Menulis dalam Keterasingan

Abdul Muis, Menulis dalam Keterasingan

Abdoel Moeis merupakan seorang wartawan dan politikus berdarah Minangkabau. Perlawanannya terhadap pemerintahan Hindia Belanda membuatnya diasingkan di Garut. Namun dalam pengasingan itu, Abdoel Moeis justru melahirkan karya-karya besar. Salah satunya adalah novel Salah Asuhan yang kemudian mengabadikan namanya dalam khazanah kesusastraan Indonesia.


Daftar Isi [Sembunyikan]

Perjalanan Hidup Abdoel Moeis

Abdul Muis
Abdoel Moeis

1883/1886

Abdoel Moeis lahir di Sungai Puar, Kabupaten Agam (saat itu masih masuk dalam wilayah Bukit Tinggi), Sumatera Barat tanggal 3 Juli pada 1883 (menurut Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa) atau 1886 (menurut Ensiklopedia Sastra Indonesia Kemdikbud). Bapaknya bernama Datuak Tumangguang Sutan Sulaiman, atau Tuanku Laras (Datuak Lareh), yang merupakan seorang Demang (kepala daerah) Sungai Puar. Sedangkan ibunya diketahui bernama Siti Djariah yang merupakan cucu dari Sentot Prawirodirdjo, seorang panglima pada masa Perang Diponegoro yang juga membantu Tuanku Imam Bonjol dalam Perang Padri. 

Semasa kecil, Abdoel Moeis mengenyam pendidikan di Sekolah Dasar Eropa atau Europeesche Lagere School (ELS). Setelah lulus, Beliau melanjutkan pendidikan ke Sekolah Pendidikan Dokter untuk Pribumi atau School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA) di Batavia. Namun pendidikan di STOVIA terhenti karena penyakit yang Beliau derita.

1903

Meski hanya luusan sekolah dasar, Abdoel Moeis mahir berbahasa Belanda. Karena kemampuannya itu, Beliau kemudian diangkat sebagai klerk atau staf di Departemen van Onderwijs en Eredienst (Departemen Pendidikan dan Keagamaan). Konon, Abdoel Moeis adalah orang Indonesia pertama yang bekerja sebagai klerk. Kehadiran Abdoel Moeis dalam departemen tersebut rupanya tidak disukai oleh pegawai lainnya. Karena tidak betah, Abdoel Moeis akhirnya memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya tersebut di tahun 1905.

1905

Setelah keluar dari Departemen van Onderwijs en Eredienst, Abdoel Moeis menjadi anggota dewan redaksi Majalah Bintang Hindia di Bandung. Namun majalah ini kemudian dilarang terbit dua tahun kemudian. 

1907

Setelah majalah Bintang Hindia dilarang terbit, Abdoel Moeis menjabat sebagai mantri lumbung di Bandungsche Afdeelingsbank. Setelah lima tahun menekuni pekerjaan ini, di tahun 1912 Beliau diberhentikan karena berseteru dengan kontrolir.



1912

Abdoel Moeis kembali ke dunia jurnalistik dengan bekerja sebagai korektor naskah di harian De Prianger Bode. Dalam waktu tiga bulan, Beliau kemudian naik jabatan menjadi korektor kepala. Tahun 1913, Abdoel Moeis memutuskan untuk masuk ke dunia politik dan memilih keluar dari pekerjaannya itu.

1913

Abdoel Moeis kemudian bergabung dengan Sarekat Islam. Dalam organisasi tersebut, dia dipercaya untuk memimpin harian Kaum Muda bersama A. H. Wignjadisastra. Selain itu, Abdoel Moeis juga bergabung dalam Indische Partij. Di partai tersebut, Muis membentuk Komite Bumi Putra bersama A. H. Wignyadisastra dan Soewardi Soerjaningrat atau Ki Hajar Dewantara.  Komite ini bertujuan untuk mengadakan perlawanan terhadap rencana Belanda yang akan mengadakan perayaan 100 tahun kemerdekaan Belanda dari Prancis serta mendesak Ratu Belanda untuk memberikan bangsa Indonesia kebebasan dalam berpolitik dan bernegara. 

1917

Pada tahun 1917, Abdoel Moeis diutus oleh Sarekat Islam pergi ke Belanda untuk mempropagandakan Comite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia). Komite ini lahir sebagai bentuk pertahanan Hindia Belanda dalam menghadapi kemungkinan adanya serangan setelah terjadinya Perang Dunia I. Dalam kunjungan tersebut, Abdoel Moeis juga mendorong pihak Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School (sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung).

Saat Abdoel Moeis pulang dari Belanda, harian Kaum Muda telah diambil alih oleh kelompok gerakan politik Belanda. Sarekat Islam kemudian menerbitkan harian Neraca dengan Abdoel Moeis sebagai pimpinan redaksinya.

1918

Abdoel Moeis bersama Haji Oemar Said Tjokroaminoto mewakili Sarekat Islam menjadi anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) pada tahun 1918. Dalam forum ini, Abdoel Moeis semakin gencar dalam memperjuangkan hak-hak bangsa Indonesia. Termasuk menolak menggunakan nama Hindia Belanda dan lebih memilih menggunakan nama Indonesia.

1919

Pada tahun 1919, Abdoel Moeis berangkat ke Tolitolli, Sulawesi Tengah dan bertemu dengan beberapa tokoh Sarekat Islam. Abdoel Moeis juga kerap berpidato dalam rapat-rapat besar. Dalam pidatonya, Abdoel Moeis menyerukan penolakan untuk diperlakukan sebagai budak serta menuntut pengakuan sebagai manusia yang merdeka.

Tak lama setelah kunjungan Abdoel Moeis ke Tolitoli, terjadi peristiwa Pemberontakan Rakyat Tolitoli 1919 yang dilancarkan oleh para pekerja paksa di sana. Peristwa tersebut menelan banyak korban, termasuk controlir dari pihak Belanda. Abdoel Moeis kemudian dituduh telah menghasut rakyat sehingga memunculkan pemberontakan dan ditahan oleh pihak Belanda.

1920

Penahanan Abdoel Moeis oleh pihak Belanda tidak menyurutkan perjuangannya. Pada tahun 1920, Beliau terpilih sebagai Ketua Pengurus Besar Perkumpulan Buruh Pegadaian. Kemudian di tahun 1922, Abdoel Moeis memimpin rekan-rekannya yang tergabung dalam Perserikatan Pegawai Pegadaian Bumiputra untuk menggelar aksi mogok kerja di Yogyakarta. Hal tersebut dipicu oleh pemecatan para pekerja pribumi secara sepihak oleh pemerintah. Dalam waktu dua minggu, aksi ini telah menjamur di kota-kota lainnya seperti Cirebon, Semarang, hingga Surabaya.

1923

Abdoel Moeis pulang ke Sumatera Barat pada tahun 1923 dan memimpin harian Utusan Melayu dan harian Perobahan. Sambil menjalani kesehariannya sebagai jurnalis, Muis juga tetap konsisten dalam perjuangannya melawan kebijakan-kebijkan Belanda. Abdoel Moeis juga memimpin sebuah pergerakan yang menolak pemberlakukan landrentestelsel (aturan pengawasan tanah).

1926

Perlawanan yang dilakukan Abdoel Moeis melalui aksi-aksi massa dan tulisan-tulisannya di surat kabar membuat pihak Belanda geram. Pada tahun 1926, Muis kembali ditangkap dan diasingkan ke Garut. Sejak saat itu, Abdoel Moeis tidak boleh menginjakkan kaki di luar Pulau Jawa.

Pada tahun yang sama, Serekat Islam mencalonkan Abdoel Moeis sebagai anggota Regentschapsraad (Dewan Kabupaten) untuk wilayah Garut. Setelah terpilih, Abdoel Moeis menjadi anggota Regentschapsraad selama enam tahun.

1928

Meski Gerakannya telah dibatasi, Abdoel Moeis tidak berhenti berjuang. Beliau pernah mendirikan harian Kaoem Kita di Bandung dan harian Mimbar Rakjat di Garut. Namun kedua surat kabar ini tidak berumur panjang. Pada tahun 1928, Penerbit Balai Pustaka menerbitkan sebuah novel yang akan mengabadikan nama Abdoel Moeis dalam dunia kesusastraan Indonesia, yakni Salah Asuhan.

1932

Setelah enam tahun menjabat sebagai anggota Regentschapsraad, Abdoel Moeis kemudian diangkat menjadi Regentschapsraad Controleur (Pengawas Dewan Kabupaten). Jabatan ini dipegang oleh Abdoel Moeis hingga Jepang memasuki Indonesia pada tahun 1942.

1942

Pada masa pendudukan Jepang, Abdoel Moeis diangkat sebagai pegawai sociale zaken (urusan sosial). Namun Muis keluar dari pekerjaan ini di tahun 1944 karena menderita penyakit darah tinggi.

1945

Setelah bangsa Indonesia memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, Belanda kembali ke Indonesia dengan membonceng pasukan sekutu. Abdoel Moeis kemudian membentuk Persatuan Perjuangan Priangan. Persatuan ini merupakan suatu bentuk upaya dalam mempertahankan kemerdekaan.

1950

Pascakemerdekaan, Abdoel Moeis mengalami kesulitan finansial. Beliau sempat pindah ke Jakarta, namun kurang beruntung. Muis pernah ditawari untuk bekerja di pemerintahan. Namun Beliau menolak karena merasa sudah terlalu tua dan sakit-sakitan sehingga hanya akan mengecewakan pemerintah. Di masa sulit seperti ini, Abdoel Moeis menopang hidupnya dengan menulis beberapa prosa dan menerjemahkan karya sastra asing.

1959

Pada tanggal 17 (beberapa sumber menyebutkan tanggal 15) Juni 1959, Abdoel Moeis meningal dunia karena penyakit darah tinggi yang dideritanya. Tak lama kemudian, Presiden Sukarno menetapkan Abdoel Moeis sebagai pahlawan nasional dan menganugerahi beliau dengan penghargaan Bintang Mahaputra. Beliau dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Cikutra, Bandung.





Kepenulisan Abdoel Moeis

Sejak tahun 1905, Abdoel Moeis telah berkecimpung di dunia jurnalistik. Tulisan-tulisannya banyak dimuat di berbagai media. Pekerjaan sebagai jurnalis inilah yang kemudian mengasah kemampuan Abdoel Moeis dalam membaca suasana dan peristiwa yang sedang terjadi.

Kemudian pada tahun 1926, Abdoel Moeis diasingkan ke Garut. Dalam pengasingan tersebut, Abdoel Moeis justru semakin memiliki banyak waktu untuk mencurahkan pikiran dan gagasannya melalui tulisan, terutama dalam kesusastraan. Di samping mendirikan dua surat kabar, yakni harian Kaum Kita dan Mimbar Rakyat, Abdoel Moeis juga mulai menulis sastra.

Pada tahun 1928, novel karangan Abdoel Moeis yang berjudul Salah Asuhan diterbitkan. Novel pertamanya ini sukses melambungkan namanya dalam khazanah kesusastraan Indonesia. Kemudian menyusul novel berjudul Pertemuan Jodoh pada tahun 1932, Surapati pada tahun 1950. Novel Surapati adalah novel sejarah yang sebelumnya telah terbit sebagai cerita bersambung di harian Kaum Muda. Kemudian Abdoel Moeis menerbitkan Robert Anak Surapati pada tahun 1953 yang merupakan kelanjutan dari novel Surapati.




Karya-Karya Abdoel Moeis
Karya-Karya Abdoel Moeis

Selain menulis novel, Abdoel Moeis juga menulis cerpen dan puisi yang kemudian dimuat di beberapa media. Puisinya antara lain adalah Ummat Hanyut di Dunia Gulita dan Rindu Dendam yang dimuat dalam majalah Boedaja tahun 1948. Selain itu, Abdoel Moeis juga menerjemahkan berbagai karya sastra ke dalam bahasa Indonesia. Karya terjemahannya antara lain adalah Don Kisot karya Miguel de Cervantes dan Tom Sawyer Anak Amerika karya Mark Twain.

Tulisan Abdoel Moeis lainnya adalah Sebatang Kara (terjemahan dari karya Hector Malot, 1949), Hikavat Bachtiar (saduran dari cerita lama, 1950), Hendak Berbalai, (1951), Hikayat Mordechai: Pemimpin Yahudi (1956), Kurnia (1958), Cut Nyak Din: Riwayat Hithip Seorang Putri Aceh (terjemahan dari karya Lulofs, M.H. Szekely), Pangeran Kornel (terjemahan dari karya Memed Sastrahadiprawira), serta Daman Brandal Sekolah Gudang.

Karya-karya Abdoel Moeis banyak mengandung kritik yang ditujukan pada pemerintahan Hindia Belanda kala itu. Kritik-kritik yang disampaikan Abdoel Moeis mencakup politik, ekonomi, sosial, hingga ketidaksetaraan hak dan gender. Satu hal yang paling menonjol dalam prosa karangan Abdoel Moeis adalah keberaniannya menentang aturan-aturan mengenai ketimpangan status sosial masyarakat yang berlaku kala itu.

Abdoel Moeis merupakan sastrawan angkatan Balai Pustaka atau angkatan 20. Hal ini dikarenakan novel pertama beliau diterbitkan oleh Balai Pustaka di masa-masa awal berdirinya penerbit tersebut yakni era 1920-an. 

Meski banyak menulis, karya sastra Abdoel Moeis terbilang tidaklah banyak. Beliau diketahui hanya menulis empat buah novel, beberapa cerpen, puisi, dan karya terjemahan. Namun pengalaman menulis di bidang jurnalistik menjadikan karya Abdoel Moeis memiliki pembahasan yang tajam dan related terhadap kehidupan masyarakat pembacanya. Oleh karena itu, Abdoel Moeis dinilai sebagai sastrawan Indonesia yang memiliki sumbangsih penting dalam sejarah sastra bangsa ini.


Layanan Pracetak LNTRA

Sarekat Islam, Kerusuhan Tolitoli, dan Partai Komunis Indonesia

Selain dikenal sebagai jurnalis, Abdoel Moeis juga merupakan tokoh ormas besar pada zaman Hindia Belanda, yakni Sarekat Islam. Beliau bergabung ke dalam Sarekat Islam pada tahun 1913 dan kemudian dipercaya untuk mengasuh harian Kaum Muda.

Bagi Sarekat Islam, Abdoel Moeis merupakan sosok yang terpandang dan memiliki kedudukan penting. Di tahun 1917, Beliau diutus oleh Sarekat Islam untuk pergi ke Belanda dalam misi mempropagandakan Comite Indie Weerbaar (Komite Pertahanan Hindia). Tujuan dari dibentuknya komite ini adalah untuk menciptakan pertahanan bagi Hindia Belanda dalam menghadapi kemungkinan terjadinya serangan setelah Perang Dunia I.

Di Belanda, Abdoel Moeis juga mendesak pihak tokoh-tokoh Belanda untuk mendirikan Technische Hooge School (sekarang dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung). Tujuan berdirinya institut ini adalah untuk memenuhi kekurangan tenaga teknisi di Hindia Belanda yang terkendala akibat Perang Dunia I. Sekolah tinggi ini kemudian didirikan di Bandung pada tanggal 3 Juli 1920.

Saat kembali ke tanah air, harian Kaum Muda sudah berpindah tangan. Sebagai gantinya, Sarekat Islam mendirikan harian Neraca. Abdoel Moeis kemudian dipercaya untuk menjadi pimpinan redaksi harian tersebut.

Abdoel Moeis juga merupakan perwakilan Sarekat Islam di Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) bersama dengan HOS Tjokroaminoto. Semasa menjabat sebagai anggota volksraad, Abdoel Moeis semakin gencar dalam menggalakkan perjuangan dan menuntut hak-hak Bangsa Indonesia. Selain itu, Abdoel Moeis juga menolak menggunakan nama Hindia Belanda dan memilih menggunakan nama Indonesia.

Perjuangan yang diserukan oleh Abdoel Moeis tak jarang memantik keributan di berbagai daerah. Salah satunya adalah pemberontakan rakyat Tolitoli, Sulawesi Tengah pada tahun 1919. Pidato Abdoel Moeis saat berkunjung ke Tolitoli dianggap bermuatan pemberontakan dan mengandung ajakan mogok kerja. 

Untuk mendengarkan pidato Abdoel Moeis pada agenda SI di Tolitoli, anggota Sarekat Islam yang mayoritas merupakan buruh yang terlibat kerja paksa harus menghentikan pekerjaan mereka. Hal tersebut dianggap hutang kerja oleh pihak Belanda yang harus dibayar dalam tempo dua hari.

Para pekerja yang saat itu sedang menjalankan ibadah puasa merasa keberatan dengan tuntutan Belanda sehingga mengabaikan perintah tersebut. Hal tersebut kemudian dianggap sebagai pembangkangan. Pihak Belanda kemudian menangkap dan menghukum para pekerja yang dianggap membangkang. Rakyat sempat meminta pelaksanaan hukuman ditunda karena sedang dalam bulan Ramadhan. Namun permintaan tersebut ditolak dan pekerja yang membangkang tetap ditangkap dan digiring ke tempat hukuman. Situasi ini kemudian membakar amarah rakyat sehingga meletuslah pemberontakan yang menewaskan banyak pihak termasuk Controlir de Kat Angelino dari pihak Belanda.

Pemberontakan Tolitoli berlangsung selama beberapa hari dan meluas. Rakyat yang marah tak hanya menyerang pihak belanda, namun juga orang-orang Tionghoa dan menjarah harta mereka. Beberapa hari kemudian, dikirim dua brigade infanteri untuk menghentikan pemberontakan tersebut. Banyak orang ditangkap dan kemudian dibawa ke Manado. Pemimpimpin pemberontakan dihukum gantung, sedang lainnya ditahan hingga puluhan tahun.

Abdoel Moeis kemudian dipenjara setelah dituduh telah menyampaikan pidato yang profokatif sehingga memunculkan ide pemberontakan di Tolitoi. Selain itu, Sarekat Islam juga dinilai bertanggung jawab atas terjadinya pemberontakan ini.

Abdoel Moeis memang dikenal sebagai sosok yang aktif dalam membela hak-hak rakyat. Beliau sering terlibat dalam gerakan dan aksi buruh, juga demo-demo perjuangan rakyat dan pekerja. Meski demikian, Muis merupakan tokoh yang anti terhadap ideologi komunis. Karena itu Abdoel Moeis dan beberapa tokoh Sarekat Islam lainnya berusaha keras untuk mencegas ideologi tersebut masuk ke dalam organisasi mereka.

Pada Kongres Sarekat Islam ke 5 di Surabaya, Abdoel Moeis dan Agoes Salim mengusulkan adanya disiplin partai yang melarang aggota Sarekat Islam menjadi anggota partai lain. Dengan adanya kebijakan tersebut, beberapa tokoh Sarekat Islam yang juga menjadi anggota partai komunis terpaksa harus keluar.

Perbedaan ideologi tidak lantas menjadikan Abdoel Moeis bermusuhan dengan orang-orang komunis. Diketahui Abdoel Moeis juga berkawan dengan Tan Malaka, salah satu tokoh yang erat dengan komunisme. Tan Malaka kerap memuji Abdoel Moeis sebagai inti dari penduduk pribumi. Tan Malaka juga memandang Moeis sebagai tokoh penting dalam membuka kesadaran pribumi.




Perihal Salah Asuhan

Sampul Buku Novel Salah Asuhan
Sampul Buku Novel Salah Asuhan
sumber: sastra-indonesia.com


Salah Asuhan merupakan novel pertama karangan Abdoel Moeis yang diterbitkan oleh Penerbit Balai Pustaka pada tahun 1928. Awalnya novel Salah Asuhan sempat ditolak oleh Balai Pustaka sehingga Abdoel Moeis perlu menyesuaikan isinya dengan kehendak zaman saat itu. Novel ini ditulis oleh Abdoel Moeis pada awal era 1920-an ketika Beliau sedang dalam masa pengasingan di Garut.

Novel Salah Asuhan bercerita tentang pemuda bernama Hanafi yang menikah dengan Rapiah karena merasa berhutang budi. Kemudian Hanafi bertemu dengan Corrie yang merupakan gadis keturunan Indo-Prancis. Hanafi kemudian jatuh hati pada Corrie dan menceraikan Rapiah. Hanafi pun mengubah kewarganegaraannya agar statusnya setara dengan orang Eropa dan mengganti namanya menjadi Cristian Han. Namun rumah tangga Han dan Corrie rupanya tidak berjalan harmonis. Keduanya sering berseteru sehingga Corrie memutuskan untuk pergi ke Semarang. Di Semarang, Corrie terjangkit kolera dan kemudian meninggal. Sepeninggalnya Corrie, Han pulang ke kampung halamannya di Solok. Karena dihantui rasa penyesalan yang teramat dalam, Han alias Hanafi memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan menelan pil sublimat.

Abdoel Moeis mengahadirkan problematika masyarakat yang sering ditemuinya dalam novel Salah Asuhan. Di mana ketimpangan status sosial yang begitu mencolok antara pribumi, indo-eropa, dan darah eropa murni. Hak-hak serta kepentingan orang Eropa selalu berada di atas orang pribumi sehingga kerap menimbulkan kecemburuan dan perasaan tersingkirkan. Hal tersebut kemudian memancing keinginan bagi orang pribumi untuk rela melakukan apa saja demi mendapatkan kehidupan yang makmur layaknya orang-orang Eropa.

Seperti halnya Hanafi yang rela mendurhakai ibunya, menanggalkan gelar kebangsawanannya sebagai Sultan Marajo Ameh, melepaskan identitas Minangkabau, meninggalkan agamanya, dan melupakan tanah airnya demi mendapatkan status yang setara dengan orang-orang eropa. Namun kebahagiaan hidup rupanya tak dapat ia raih meski Hanafi telah "menjadi orang Eropa". Akhir hayatnya diliputi dengan rasa penyesalan dan meninggal dengan cara yang mengenaskan.

A. A. Navis dalam artikelnya yang berjudul Pengaruh Minangkabau dalam Kesusastraan Indonesia mengatakan bahwa Hanafi dalam novel Salah Asuhan merupakan gambaran orang yang kecewa terhadap budaya dan cara hidup orang Eropa. Celakanya, kekecawaan itu baru muncul ketika Hanafi telah mengorbankan segalanya demi "menjadi orang Eropa" sehingga yang tersisa adalah penyesalan.

A. Teuw dalam bukunya yang berjudul Sastra Baru Indonesia mengungkapkan bahwa Salah Asuhan merupakan novel yang menarik bukan hanya karena temanya yang secara terus terang membahas mengenai diskriminasi ras dan sosial. Novel ini menarik juga karena cara pengarang menyampaikan gagasannya dengan gaya penulisan yang bersahaja dan sama sekali bukan kisah tentang diskriminatif. Dengan begitu dapat membangkitkan gejolak di hati para pembaca perihal kisah asmara yang kandas antara dua muda-mudi dikarenakan undang-undang mereka sendiri.

Novel Salah Asuhan dinilai sebagai puncak roman pada Angkatan Balai Pustaka. Di Malaysia, novel ini menjadi bacaan wajib di sekolah. Pada tahun 1972, novel Salah Asuhan diadaptasi ke dalam film yang disutradarai oleh Asrul Sani dengan judul yang sama.


Sampul Buku Never the Twain (Terjemahan Salah Asuhan)
Sampul Buku Never the Twain (Terjemahan Salah Asuhan)
sumber: goodreads.com


Abdoel Moeis dan Hari Sastra Indonesia

Pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia
Pembacaan Maklumat Hari Sastra Indonesia
sumber: Horison Majalah Sastra (Facebook)

Pada bulan Maret tahun 2013, diselengarakan Maklumat Hari Sastra Indonesia di Bukittinggi. Maklumat memilih tanggal lahir Abdoel Moeis yakni 3 Juli sebagai tanggal peringatan Hari Sastra Indonesia. Taufiq Ismail sebagai penggagas Hari Sastra Indonesia mengatakan bahwa awalnya panitia mencari tanggal penerbitan pertama Balai Pustaka utuk naskah sastrawan terkemuka, namun tidak ditemukan. Kemudian dipilihlah tanggal lahir Abdoel Moeis.

Pemilihan tangal lahir Abdoel Moeis untuk diperingati sebagai Hari Sastra Indonesia tentunya didasari oleh beberapa alasan. Abdoel Moeis adalah seorang sastrawan sekaligus jurnalis dan politisi yang telah melahirkan karya sastra ternama seperti Salah Asuhan. Selain itu, Moeis juga merupakan orang pertama yang diberi gelar Pahlawan Nasional oleh Presiden Soekarno. Di samping itu, Maklumat Hari Sastra Indonesia digelar di Bukittinggi yang juga merupakan tanah kelahiran Abdoel Moeis. Serta SMAN 2 Bukittingi, yang pada awal berdirinya dikenal sebagai Kweekschool atau Sekolah Raja, yang telah berdiri sejak tahun1856. SMAN 2 Bukittinggi juga diangap sebagai sekolah yang banyak melahirkan sastrawan terkemuka seperti Marah Rusli, Rustam Efendi, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Aman Datuk Manjoindo.

Beberapa pihak kemudian menolak penggunaan tanggal kelahiran Abdoel Moeis sebagai Hari Sastra Indonesia. Hal tersebut dikarenakan pemilihan tanggal tersebut seolah-olah mengabaikan hari lahir sastrawan-sastrawan hebat lain di masa sebelumnya. Alasan lainnya adalah karena Abdoel Moeis merupakan penulis Balai Pustaka yang dulu dikelola oleh pihak kolonial Belanda. Kemudian muncullah peringatan tandingan Hari Sastra Indonesia setiap tangal 6 Februari. Tanggal ini mengacu pada tanggal kelahiran Pramoedya Ananta Toer, seorang sastrawan yang dinilai lebih patriotis dan melahirkan semangat kebangsaan dalam karya-karyanya. (inSastra.com/Amry Rasyadany)


Daftar Pustaka


Seri Artikel Para Pujangga

No comments

Salam pegiat sastra .....

Bagaimana tanggapan Anda mengenai tulisan di atas?
Berkomentarlah dengan bahasa yang santun dan berikan manfaat untuk sesama.

Kami juga menerima kritik dan saran yang membangun, serta pertanyaan seputar kesusastraan. Mari bersama membentangkan wawasan kesusastraan.